Ini kegiatan santri sebelum lockdown atau karantina. Di Tanah Air lebih memilih PSBB alias Pembatasan Sosial Berskala Besar. .
Yayasan Syekh Abdul Wahab Rokan yang saat ini dipimpin oleh Syekh Haji Ismail Royan, didirikan pada tanggal 21 November 1979 yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1400 H.
Pondok Pesantren Babussalam Pekanbaru kedatangan Prof Dr dr Ridha Dharmajaya Sp BS(K), Senin (20/11/2023) siang. Inisiator Gerakan Gadget Sehat Indonesia tersebut menjadi pembicara tunggal dalam seminar yang bertema Penyelamatan Generasi Bangsa Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045, khusus bagi santri dan guru Ponpes binaan Yayasan Syekh Abdul Wahab Rokan ini.
Seminar berlangsung di Gedung Serbaguna Haji Ahmad Royan, kompleks Ponpes Babussalam. Seminar dibuka oleh Tuan Guru Syekh H Ismail Royan selaku pimpinan Ponpes Babussalam Pekanbaru. Turut pula hadir sejumlah sahabat Tuan Guru dan Tim Gerakan Gadget Sehat Indonesia seperti Bapak H Azhar, Bapak Endamora, Bapak Affan dan Bapak Toras.
Gerakan Gadget Sehat Indonesia didasari pada kekhawatiran tingginya adiksi alias ketagihan, kecanduan dan ketargantungan manusia pada gadget. Dalam menjalankan misinya, Prof Ridha dan tim sudah berkeliling Indonesia setidaknya di 15 kota guna memberi pemahaman pentingnya mengedukasi penggunaan gadget secara sehat.
Prof Ridha memulai pemaparannya dengan menyinggung tentang bonus demografi. Masa di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia antara tahun 2030 sampai 2040. Dan pemerintah saat ini tengah menggodok berbagai program untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.
Selain dicirikan dengan usia produktif yang besar, juga ditandai dengan globalisasi. Satu era atau masa terjadinya proses integrasi dan interaksi bertahap di antara entitas, individu, dan negara yang berbeda di seluruh dunia. Simpelnya, satu negara tidak bisa menutup diri dari dunia luar.
Dan ciri ketiga adalah terjadinya persaingan manusia dengan mesin yang mengandalkan kecerdasan buatan alias AI (artificial intelligence). Satu contoh kecil antara lain gerbang tol ataupun bank yang mulai menggunakan mesin sebagai pengganti manusia.
''Mungkin nanti satpam-nya Robocop kali," ujar Prof Ridha yang kelahiran tahun 1973 ini.
Bahkan sekarang, lanjut Prof Ridha, ada mesin rontgen yang tidak hanya menampilkan foto. Tapi juga disertai dengan keterangan penjelasan seperti gejala, kelainan dan penyakitnya. "Masih perlu ndak spesialis dokter radiologi kalau gitu," tanya dokter spesialis bedah saraf ini retoris.
Dengan berbagai kemajuan tersebut, masih menurut Prof Ridha, ke depan persaingan jumlah orang dalam satu tempat itu makin padat tapi kesempatannya semakin sedikit. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, para santri harus menjadi pribadi yang berkualitas.
"Jadi pintar itu bukan pilihan tapi wajib. Menjadi orang yang berakhlakul karimah itu bukan pilihan. Menjadi orang yang layak dipercaya itu harus," tegas Prof Ridha, yang pernah memegang rekor sebagai profesor ahli bedah saraf termuda itu lagi.
Namun kini, bonus demografi yang dibesar-besarkan itu justru mendapatkan tantangan dari ketagihan manusia terhadap gadget. Dalam artian lebih sempit berarti telepon seluler (ponsel) alias gawai dalam bahasa Indonesia.
Pada akhir tahun 2022 para dokter mulai menemukan populasi manusia yang berbeda dari penyakit penyempitan saraf. Gejala penyakit itu awalnya tegang di leher, berat di pundak, suka pusing, tangan kesemutan, gampang letih, dan bangun tidur tidak segar.
Di mata Prof Ridha, jika yang mengalami itu orang yang tergolong tua, di atas 50-60 tahun, hal biasa. Karena mengalami proses degeneratif alias penuaan.
"Tapi di tahun 2022 itu kita mendapati anak-anak SMA, anak-anak SMP, anak-anak SD mengalami itu. Itu tidak normal karena ada yang merangsang mempercepat mereka mengalami itu. Kalau anak SMA saja, maka ada proses percepatan 30 tahun mereka mengalami proses degenaratif, penuaan," ungkap beliau.
Itu karena pengaruh pemakaian berlebihan gawai. Apalagi pada masa pandemi Covid-19, orang tua memperbolehkan (permisif) anak-anaknya menggunakan gawai karena belajar secara daring atau online.
Pemakaian gawai dalam waktu lama sangat mempengaruhi kondisi fisik anak. Terutama pada tulang leher, pundak, tulang belakang, bahkan matinya saraf pada batang leher.
Prof Ridha pun memberikan ilustrasi. Jika seseorang dengan berat 75 Kg sedang berdiri dengan kepala mengarah lurus ke depan maka beban leher mencapai 5 Kg.
Beban itu berasal dari otak yang beratnya 2 persen dari total berat tubuh. Lalu ditambah lagi berat tulang tengkorak, berat otot wajah, dan berat tulang wajah.
Nah, menggunakan gawai dengan kepala tertekuk sekitar 30 derajat maka beban leher yang 5 Kg bisa menjadi 18 Kg.
Dengan penggunaan gawai dalam waktu yang lama maka bisa mengakibatkan tegang pada leher, pundak terasa berat, dan tangan kesemutan. Kondisi itu semakin berbahaya jika terjadi pada anak-anak secara terus menerus.
Bisa mengakibatkan terganggunya tulang belakang serta matinya saraf pada batang leher. Ini bisa mengakibatkan lumpuhnya tangan dan kaki secara perlahan, bahkan sebabkan kematian.
Ketergantungan pada gawai bisa pula membuat anak-anak lambat atau bahkan sulit bicara. Juga susah fokus.
"Sesuatu yang serius dari hanya cara melihat gadget. Bonus demografi bisa habis. Melahirkan generasi muda yang cacat. Malah jadi beban," papar Prof Ridha.
Pada kesempatan tersebut juga ditunjukkan beberapa foto yang memperlihatkan bentuk tulang belakang yang bengkok, dan matinya saraf.
Beliau juga memaparkan dampak buruk terhadap mata. Sebab banyak pengguna gawai misalnya, menggunakan dalam keadaan gelap atau minim penerangan. Termasuk juga para orang tua yang memberikan gawai pada bayinya.
Dari aspek konten, menurut Prof Ridha, juga bisa mengganggu jika tidak disikapi secara bijak. Selain yang positif banyak pula konten yang terlarang tapi mudah sekali diakses seperti konten porno dan judi online.
Judi online dan pinjaman online saat ini juga sangat mengkhawatirkan baik terhadap anak-anak maupun orang dewasa. Bahkan sampai mengakibatkan bunuh diri.(*)
Ini kegiatan santri sebelum lockdown atau karantina. Di Tanah Air lebih memilih PSBB alias Pembatasan Sosial Berskala Besar. .
Lagu Indonesia Raya menandai pembukaan prosesi pelantikan dan pengukuhan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Kekeluargaan Alumn.