Yayasan Syekh Abdul Wahab Rokan yang saat ini dipimpin oleh Syekh Haji Ismail Royan, didirikan pada tanggal 21 November 1979 yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1400 H.
Rabu, 18 Mei 2022 | 16 Syawwal 1443 H | Dibaca : 1496 Kali
Melihat Tradisi "Salam Tempel" di Idul Fitri Dari Perspektif Sosiologi
Penulis
Reporter
Tradisi berbagi rezeki di hari bahagia Idul Fitri juga berlangsung di acara Open House keluarga besar Pondok Pesantren Babussalam.
Ini sudah jamak dilakukan di hari raya umat Islam pasca-Ramadhan itu. Namun sebutannya barangkali terkesan rancu.
Berbagi THR alias tunjangan hari raya. Apapun istilahnya, yang penting niatnya adalah berbagai kebaikan dan kegembiraan.
Biasanya yang mendapatkan THR tersebut adalah anak dan saudara yang masih kecil, remaja ataupun yang belum bekerja.
Namun Tuan Guru Syekh H Ismail Royan selaku sohibul bait alias tuan rumah, memperluas cakupannya. Dengan kata lain, keluarga besar yang sudah dewasa pun kebagian THR. Tentu pula nominalnya berbeda dengan yang masih kecil.
Sekilas Kisah tentang Tradisi Berbagai THR
Pakar sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Musta'in Mashud, seperti diberitakan detik.com, Rabu, 4 Mei 2022, menjelaskan tradisi salam tempel itu melalui kacamata sosiologi. Menurutnya, tradisi-tradisi tersebut memiliki akar sejarah yang unik serta patut diapresiasi keberadaannya.
Bagi-bagi THR resminya merupakan momen ditunggu-tunggu oleh pekerja menjelang Hari Raya Idul Fitri. Istilah ini kemudian dipakai juga untuk memberikan uang kepada keponakan atau saudara yang masih kecil saat momen lebaran.
Menurut Musta'in, bagi-bagi THR dan menunaikan zakat keduanya memiliki makna yang sama jika dilihat dari kacamata sosiologi, yakni sebagai bentuk semangat manusia untuk kembali ke fitrah.
Fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh sebab itu, manusia membentuk komunalitas untuk saling berinteraksi dan berbagi dalam memenuhi hajatnya.
Pada masyarakat pedesaan, kebersamaan dan solidaritas terjaga dengan baik karena didukung oleh budaya tradisional dan struktur mata pencaharian masyarakat yang berada dekat dengan lingkungan rumah. Mereka dulu belum mengenal istilah THR.
Namun, karena sifat moral dan fitrah manusia, pembagian keuntungan usaha antarindividu berdasarkan hierarki pekerjaan sudah terbentuk. Hal itu dinamakan patron-klien.
"Secara moral di desa itu orang kaya memiliki kewajiban, si kaya memberi kepada yang miskin," ujar guru besar sosiologi itu.
Seiring berjalannya waktu, tumbuh industri-industri di perkotaan yang membuat masyarakat desa ikut bekerja pada korporasi dengan sistem profesional, meski begitu fitrah kemanusiaan tidaklah luntur.
Manusia tetap saling bantu serta berbagi. Hanya saja dalam berbagi terkadang manusia menunggu momen yang tepat, salah satunya pada momen Idul Fitri.
THR adalah hasil dari sifat manusia yang saling berbagi. Namun kini THR menjadi sesuatu yang diwajibkan oleh negara karena hal ini merupakan momen yang sudah disepakati sebagai bentuk dari hajat bersama agar semua pihak baik pemerintah, pengusaha, buruh maupun swasta dapat sama-sama mengambil manfaatnya.
"Momen itu, menurut saya, adalah ruang bersama yang bisa dimaksimalkan agar semua orang mendapat manfaatnya," ungkap Musta'in.
Menjelang lebaran, uang dengan pecahan baru diburu oleh masyarakat. Pasalnya uang baru akan digunakan untuk berbagi THR kepada keponakan atau sanak keluarga.
Menurut Musta'in, hal ini merupakan salah satu bagian dari fasilitas momen. Momen Hari Raya Idul Fitri identik dengan 'salam tempel' agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar keluarga, maka uang yang dibagikan untuk salam tempel nilainya harus sama dan itu bisa ditukarkan di bank.
Proses itu terjadi secara terus menerus dan menjadi sebuah tradisi baru di masyarakat. "Momen itu dapat menjadi bagian dari kebutuhan diri," jelasnya.(*)